KABARSEMBADA.COM, YOGYAKARTA – Kebijakan baru Pemkot Yogyakarta terkait pengelolaan sampah memicu keresahan, terutama dari kalangan warga berpenghasilan rendah. Mulai sekarang, semua sampah rumah tangga harus diangkut menggunakan jasa penggrobak, dan itu tidak gratis. Warga diminta membayar iuran tambahan untuk layanan ini—sesuatu yang dinilai memberatkan bagi masyarakat miskin.
Anggota DPRD Kota Yogyakarta, Solihul Hadi, langsung angkat suara. Menurutnya, banyak keluhan muncul dari warga yang sebelumnya biasa membuang sampah ke depo tanpa biaya. Kini, mereka harus merogoh kocek hanya untuk sekadar membuang sampah.
“Yang dulu bisa buang sendiri, sekarang harus bayar. Ini jadi beban baru, apalagi buat mereka yang penghasilannya pas-pasan,” kata Solihul, Jumat (18/4/2025).
Solihul, politisi dari Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), meminta Pemkot Jogja segera mengevaluasi sistem ini. Ia mengusulkan agar warga kurang mampu dibebaskan dari kewajiban membayar jasa penggrobak, atau setidaknya mendapat subsidi dari anggaran daerah.
Lebih lanjut, ia juga menyarankan agar pengurus wilayah—RT dan RW—ikut terlibat dalam pendataan penerima bantuan. Tujuannya agar pemberian bantuan tidak asal-asalan dan menghindari konflik di masyarakat.
“Harus jelas siapa yang benar-benar berhak. Jangan sampai timbul iri hati di masyarakat,” tegasnya.
Menanggapi polemik tersebut, Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, menegaskan bahwa kebijakan iuran bukan keputusan sepihak dari Pemkot. Sistem ini diserahkan ke masing-masing wilayah, dan besarannya ditentukan lewat musyawarah warga.
Meski begitu, Hasto mendukung inisiatif gotong royong. Ia membuka opsi agar dana iuran dari warga mampu bisa digunakan untuk membantu warga tidak mampu.
“Kalau memang ada warga yang lebih mampu, kenapa tidak berbagi? Ini bagian dari solidaritas sosial kita,” ujar Hasto.
Permasalahan ini menunjukkan bahwa pengelolaan sampah bukan hanya soal teknis, tapi juga soal keadilan. Ketika iuran sampah membuat warga kecil makin terjepit, pemerintah tak bisa tinggal diam. Langkah DPRD yang mendorong pembebasan biaya ini patut diapresiasi. Kini, publik menanti aksi nyata Pemkot agar kebijakan ini tidak menjadi ironi di tengah semangat Jogja sebagai kota yang mengusung prinsip keadilan sosial dan gotong royong. (*)
Tinggalkan Balasan