KABARSEMBADA.COM, YOGYAKARTA – Fenomena joki dalam Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) kembali mencoreng dunia pendidikan Indonesia. Sejumlah peserta ujian di berbagai kampus tertangkap menggunakan jasa joki. Mirisnya, beberapa pelaku justru berasal dari perguruan tinggi negeri (PTN) ternama. Kasus ini kini tengah ditangani pihak kepolisian.
Di saat yang hampir bersamaan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merilis Indeks Integritas Pendidikan 2024 yang hanya berada di angka 69,50, masuk dalam kategori korektif. KPK juga mencatat dalam Survei Penilaian Integritas (SPI) bahwa 30 persen guru dan dosen masih menganggap pemberian dari siswa atau mahasiswa sebagai hal wajar sebuah indikasi kuat bahwa praktik gratifikasi masih menjadi persoalan serius dari sekolah hingga perguruan tinggi.
Dosen Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM, Dede Puji Setiono, Ph.D., menganggap angka indeks tersebut sebagai peringatan keras bagi seluruh pemangku kepentingan dunia pendidikan.
“Ini bukan sekadar persoalan angka, tapi pertanda bahwa budaya integritas belum mampu bersaing dengan mentalitas ‘yang penting lulus’. Namun di balik itu, saya melihat peluang untuk membenahi sistem pendidikan secara menyeluruh,” ujar Dede, Jumat (2/5/3035).
Menurutnya, sistem evaluasi yang terlalu kaku menjadi akar persoalan. Siswa jujur kerap dianggap polos, sedangkan yang curang malah dianggap cerdas karena bisa “mencari celah”. Ujian yang menitikberatkan pada hafalan tanpa melatih berpikir kritis juga mendorong siswa mencari jalan pintas.
Ia mencontohkan sistem pendidikan Finlandia yang meniadakan ujian standar dan fokus pada pengembangan karakter serta kreativitas. “Itu bukti bahwa integritas dan kualitas bisa berjalan seiring,” tambahnya.
Langkah Perubahan: Integritas sebagai Program Nyata
Sebagai solusi, Dede mendorong Kemendikbudristek untuk merancang kebijakan berbasis data, seperti: Menambahkan modul anti-korupsi dalam pelatihan guru dan dosen, Memberikan penghargaan bagi sekolah dan kampus yang transparan, serta Merevisi kurikulum dengan mengurangi jam hafalan dan menambah proyek berbasis nilai
Di lingkungan kampus, ia menyoroti maraknya gratifikasi dan nepotisme dalam pengadaan barang maupun rekrutmen pegawai. Menurutnya, solusi radikal perlu diterapkan, seperti: Publikasi anggaran secara real-time melalui situs daring, Melibatkan auditor independen dalam proses pengadaan, serta Penerapan sistem “blind selection” untuk vendor dan staf agar menghindari intervensi relasi pribadi
“Sanksi juga harus tegas. Rektor atau kepala sekolah yang terbukti melakukan praktik nepotisme jangan hanya ditegur, tapi dicopot dari jabatannya,” tegas Dede.
Dede bermimpi sekolah dan kampus di Indonesia dapat menjadi pusat pembelajaran nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab. Ia membayangkan siswa yang berani menolak mencontek, dosen yang menolak hadiah dari mahasiswa, serta pejabat kampus yang memutuskan pemenang tender berdasarkan kualitas proposal bukan relasi pribadi.
“Pendidikan itu bukan hanya soal ilmu, tapi soal karakter. Kita perlu revolusi pola pikir. Integritas bukan beban, tapi aset masa depan,” papat Dede, Dosen Fisipol UGM. (*)
Tinggalkan Balasan