Tarif Impor Baru Trump Ancam Ekspor RI, Ekonom UGM: Bisa Picu Gelombang Efek Domino

KABARSEMBADA.COM, YOGYAKARTA – Kebijakan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang menetapkan tarif impor baru sebesar 32 persen terhadap produk asal Indonesia menuai sorotan tajam. Ekonom Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Edhie Purnawan, Ph.D., memperingatkan bahwa langkah ini berpotensi menciptakan efek domino yang mengancam stabilitas ekonomi nasional.

“Dengan tambahan tarif ini, beban total produk Indonesia bisa tembus 37 persen. Ini jelas menggerus daya saing ekspor kita, khususnya sektor elektronik, tekstil, alas kaki, dan pakaian,” ujar Edhie saat dihubungi pada Rabu (9/4/2025).

Pada 2024 lalu, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan dengan AS sebesar USD 16,84 miliar. Namun, dengan tarif baru tersebut, potensi penurunan ekspor diprediksi akan cukup tajam, terutama dari sektor padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja.

Edhie menjelaskan, konsekuensi dari kebijakan tarif ini tidak hanya berhenti di penurunan ekspor. “Bila ekspor merosot, kita bisa lihat rupiah terdepresiasi, inflasi meningkat, neraca fiskal melemah, dan pendapatan pajak ikut menurun,” jelas Edhie.

Edhie membandingkan situasi ini dengan dampak tarif terhadap Vietnam pada masa perang dagang AS–China di tahun 2019, yang turut mendorong peningkatan kemiskinan.

Namun di balik ancaman, Edhie juga melihat peluang. “Tarif Indonesia (32%) masih lebih rendah dibanding Vietnam (46%) dan Kamboja (49%). Artinya, Indonesia masih bisa merebut pangsa pasar AS untuk produk seperti pakaian dan alas kaki,” paparnya.

Tarif Sebagai Strategi: Indonesia Harus Main Cerdas

Menurut Edhie, Trump sedang memainkan “permainan tarif” atau tariff brinkmanship untuk menekan mitra dagang, termasuk Indonesia. Hal ini terlihat dari anjloknya indeks pasar global: S&P 500 turun 10,53%, Dow Jones 9,26%, dan Nasdaq 11,44% hanya dalam tiga hari (2–4 April 2025). Nilai kerugian pasar AS ditaksir mencapai USD 5–6,6 triliun.

“Saham perusahaan seperti Nike saja sudah turun 7 persen karena efek tarif pada Vietnam. Ini menunjukkan kebijakan ini bisa melukai ekonomi AS sendiri,” katanya, mengutip The Economist.

Dalam kacamata teori permainan (game theory), tarif ini adalah upaya mengubah “payoff matrix” yang memaksa negara mitra seperti Indonesia untuk mengatur ulang strategi ekspornya.

“Indonesia harus menemukan ekuilibrium baru: tetap negosiasi, tapi juga siap dengan diversifikasi pasar dan diplomasi ekonomi aktif,” tegas Edhie.

Apa langkah terbaik untuk Indonesia? Edhie menyarankan strategi campuran:

  1. Diplomasi Ekonomi Aktif – Indonesia dapat merevitalisasi TIFA (Trade and Investment Framework Agreement) untuk membahas hambatan dagang, tanpa harus terlibat dalam retaliasi.
  2. Inisiatif Deregulasi – Memberi insentif bagi perusahaan besar AS seperti Apple, GE, dan Microsoft, dengan pelonggaran syarat kandungan lokal dan insentif fiskal.
  3. Diversifikasi Pasar – Buka pasar baru di ASEAN, Eropa, Timur Tengah, serta dorong keikutsertaan Indonesia di CPTPP dan BRICS.
  4. Penguatan Industri Dalam Negeri – Beri insentif pajak dan pelatihan ulang bagi sektor padat karya yang terdampak.
  5. Stabilisasi Nilai Tukar – Melalui optimalisasi DHE (Devisa Hasil Ekspor) dan penguatan koordinasi dengan Bank Indonesia.

“Ini adalah permainan berulang (repeated game). Kita butuh kombinasi antara kooperasi dan kompetisi untuk bertahan,” ucap Edhie.

Tenang Bukan Lemah: Strategi Diam yang Menghitung

Pemerintah Indonesia sejauh ini memilih untuk tidak merespons secara terbuka. Bagi Edhie, sikap itu bukan kelemahan, melainkan bentuk strategi tenang yang justru menyulitkan pihak lain membaca arah kebijakan Indonesia.

“Dengan ketimpangan kekuatan PDB—AS USD 27,7 triliun vs Indonesia USD 1,4 triliun—langkah gegabah justru bisa menjebak kita dalam ‘permainan kalah’. Ketenangan adalah bentuk perlawanan taktis,” ungkap Edhie.

Edhie menyebut pendekatan diam ini memberi ruang bagi Indonesia untuk memperkuat daya tahan internal, membangun strategi jangka panjang, dan mempersiapkan negosiasi dengan posisi lebih kuat.

Untuk menjaga kepercayaan pelaku pasar dan publik, Edhie menyarankan pemerintah menggunakan strategi komunikasi terbuka yang mengedepankan signaling—menyampaikan bahwa Indonesia mengontrol situasi.

Dengan pendekatan ini, Indonesia bisa menunjukkan fleksibilitas kebijakan, sambil tetap menjaga kestabilan. “Koordinasi ASEAN, penguatan sektor digital, perjanjian dagang baru, semua harus dikomunikasikan secara cerdas agar publik tahu arah strategi negara,” jelas Edhie. (*)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *