KABARSEMBADA.COM, KULON PROGO – Di tengah semangat panen raya dan tradisi wiwitan di Bulak Rowo Jembangan, Gulurejo, Lendah, Kulon Progo, terselip kecemasan mendalam dari para petani. Genangan air yang kerap muncul setiap musim hujan menjadi momok nyata yang mengancam ketahanan pangan di daerah tersebut.
Acara panen yang digelar pada Kamis (10/4/2025) itu dihadiri langsung oleh Bupati Kulon Progo, Agung Setyawan, yang menyampaikan harapan sekaligus keprihatinan mendalam terhadap kondisi lahan pertanian.
“Sudah tiga tahun kami tunggu, tapi Rowo Jembangan belum juga tersentuh normalisasi. Ini harus segera ditangani,” ujar Agung lantang di hadapan peserta panen raya.
Gulurejo dikenal sebagai salah satu lumbung pangan Kulon Progo dengan cadangan padi yang tinggi. Namun ironi muncul saat kawasan subur itu justru kerap terendam air hingga berhari-hari, khususnya di Bulak Rowo Jembangan. Pendangkalan sungai dan lemahnya drainase membuat lahan tidak bisa digarap maksimal.
“Kalau hujan deras, air bisa tergenang 3 sampai 4 hari. Jelas ini ganggu produktivitas petani,” jelas Lurah Gulurejo, Bejo Santoso.
Bejo pun mengungkapkan bahwa pihaknya sudah mencetak sawah baru seluas 5,16 hektar, menambah luas total lahan pertanian menjadi 115,16 hektar. Tapi semua itu bisa sia-sia jika masalah air tak segera diatasi.
Milenial Bertani, Semangka dan Cabai Jadi Idola Baru
Di balik tantangan itu, secercah harapan datang dari generasi muda. Agung menyebut mulai tumbuh semangat petani milenial di Gulurejo yang tak hanya menanam padi, tapi juga mengembangkan komoditas hortikultura seperti cabai, semangka, dan melon.
“Kami juga dukung pendidikan taruna tani. Alhamdulillah ada 50 peserta per periode. Ini langkah strategis menyiapkan regenerasi petani,” jelasnya.
Mewakili Gubernur DIY Sri Sultan Hamengkubuwono X, Asisten Sekda Bidang Pemerintahan dan Pembangunan DIY, Tri Saktiyana, menegaskan pentingnya menjadikan masalah air ini sebagai momentum memperbaiki ekosistem pertanian secara menyeluruh.
“Kalau drainase dibenahi, yang mengalir bukan cuma air, tapi juga harapan. Ini tentang masa depan pangan kita,” tegas Tri dengan nada filosofis.
Menurutnya, Rowo Jembangan adalah simbol penting. Pendangkalan sungai berdampak pada ratusan hektar sawah di Sentolo dan Lendah. Jika dibiarkan, bukan hanya panen yang hilang, tapi juga penghidupan warga dan masa depan ketahanan pangan DIY.
Dalam pesannya, Sri Sultan mengutip falsafah Jawa: “Alang-alang dudu aling-aling margining kautaman” – bahwa rintangan bukanlah penghalang, tapi tempaan menuju kesejahteraan.
Tri juga menegaskan bahwa tantangan di Rowo Jembangan harus ditanggapi dengan pendekatan teknis, partisipatif, dan lintas sektor. Sinergi antara pemerintah pusat, provinsi, dan daerah harus diperkuat agar solusi yang dihasilkan tidak tambal sulam.
“Ini bukan sekadar soal air. Ini soal strategi, keberpihakan, dan komitmen menjaga ekosistem pertanian,” terang Tri. (*)
Tinggalkan Balasan