Malam Minggu di Malioboro Bikin Merinding, Wisatawan: Serasa Jogja Punya Dunia Sendiri

KABARSEMBADA.COM, YOGYAKARTA – Ada yang berbeda di Malioboro setiap Sabtu malam. Jalanan legendaris di jantung Kota Yogyakarta ini bukan hanya sekadar tempat wisata, melainkan telah menjelma menjadi arena pesta rakyat yang hidup sampai larut malam.

Ribuan pengunjung memadati kawasan Malioboro pada Minggu (19/4/2025) malam. Mereka datang dari berbagai penjuru tanah air hingga mancanegara, membanjiri trotoar yang dihiasi lampu-lampu temaram dan suara musik dari para seniman jalanan.

Trotoar nyaris tak menyisakan celah. Para pejalan kaki sibuk menikmati suasana: ada yang belanja oleh-oleh, menyantap jajanan angkringan, berfoto dengan latar bangunan kolonial, hingga sekadar duduk menikmati hiruk-pikuk kota dengan rasa yang tetap bersahaja.

“Saya sudah tiga kali ke Jogja, tapi baru kali ini datang pas malam Minggu. Rasanya kayak nonton festival jalanan gratis. Semua orang bahagia,” ungkap Riko Prasetyo, 30 tahun, wisatawan asal Bogor yang datang bersama istri dan anaknya.

Tak hanya warga lokal yang memadati area, turis dari kota besar juga tak mau kalah. Malioboro seakan memiliki magnet tersendiri yang menarik semua kalangan, dari muda-mudi, keluarga, hingga para pelancong solo.

“Saya dari Surabaya, dan ini malam pertama saya di Jogja. Kaget juga, ternyata Malioboro bisa seramai ini! Ada musik jalanan, makanan murah, dan suasana yang bikin betah,” ujar Sheila Anggraini, 24 tahun, seorang mahasiswa yang sedang liburan akhir semester.

Menjelang pukul 21.00 WIB, suara gitar dari pengamen, derai tawa wisatawan, dan aroma khas wedang ronde memenuhi udara. Beberapa pengunjung terlihat antusias menonton pertunjukan seni spontan yang digelar secara sukarela oleh komunitas lokal.

Malioboro memang tak pernah kehilangan daya tarik. Meski zaman terus berubah, kawasan ini tetap menjadi simbol kehangatan dan keterbukaan ala Jogja. Kesan ramah dan menyenangkan terasa di setiap sudutnya.

“Saya dari Medan, baru pertama ke Jogja. Tapi langsung jatuh cinta. Malam di Malioboro itu semacam terapi jiwa—tenang tapi ramai, padat tapi damai,” tutur Alin Siregar, 35 tahun, pegawai swasta yang datang dalam rangka solo trip.

Menurut salah satu pedagang, kepadatan ini sudah menjadi pemandangan rutin setiap akhir pekan.

“Kalau malam Minggu, Malioboro pasti selau ramai mas. Tapi justru itu yang bikin suasananya hidup dan bikin dagangan juga laris. Kita sebagai pedagang ya senang,” kata Sugeng, 45 tahun, pedagang suvenir di kawasan Malioboro.

Hampir semua pelancong sepakat bahwa Malioboro di malam Minggu bukan cuma destinasi wisata, tapi pengalaman emosional yang sulit digambarkan. Di sinilah denyut nadi Yogyakarta berpadu antara budaya, kreativitas, dan kebersamaan dalam balutan suasana malam yang magis. (*)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *