KABARSEMBADA.COM, YOGYAKARTA – Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penurunan tajam hingga memicu penghentian sementara perdagangan saham atau trading halt. Kondisi ini menjadi sinyal kuat akan krisis kepercayaan investor terhadap stabilitas ekonomi dan politik di Indonesia.
Dosen Departemen Manajemen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), I Wayan Nuka Lantara, Ph.D., menjelaskan bahwa kejatuhan IHSG mencerminkan kekhawatiran pelaku pasar terhadap berbagai ketidakpastian yang terjadi di dalam negeri.
“IHSG yang anjlok menunjukkan sentimen negatif investor. Penurunan tajam ini menyebabkan saham-saham unggulan, terutama di sektor perbankan, mengalami depresiasi signifikan, yang pada akhirnya memicu aksi jual besar-besaran,” ujar Wayan dalam siaran pers kepada Kabarsembada.com, Minggu (30/3/2025).
Faktor Pemicu Anjloknya IHSG
Menurut Wayan, ada beberapa faktor utama yang berkontribusi terhadap pelemahan IHSG. Ketidakpastian di sektor politik dan ekonomi menjadi pemicu utama, yang diperparah dengan kebijakan pemerintah yang dinilai kurang menenangkan pasar.
“Kebijakan pemerintah terkesan inkonsisten. Sementara masyarakat diminta untuk efisien, pemerintah justru tidak memberikan contoh, misalnya dengan mempertahankan jumlah kabinet yang besar,” jelasnya.
Selain itu, faktor lain seperti pelemahan daya beli masyarakat, target pertumbuhan ekonomi yang dinilai tidak realistis, serta meningkatnya beban utang negara yang jatuh tempo pada Juni 2025 turut menambah kekhawatiran investor. Di sisi politik, berbagai kebijakan yang kontroversial juga semakin mengikis kepercayaan publik.
Dampak pada Ekonomi Nasional
Wayan menuturkan bahwa kondisi ini berdampak luas pada perekonomian Indonesia, terutama bagi investor domestik pemula yang baru belajar berinvestasi.
“Banyak investor muda yang mengalami kerugian besar akibat anjloknya pasar. Ini bisa menurunkan minat mereka untuk kembali berinvestasi,” ungkapnya.
Lebih jauh, kondisi ini juga berpotensi menekan pertumbuhan ekonomi, menghambat investasi baru, serta meningkatkan angka pengangguran akibat gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika tidak segera diatasi, Indonesia bisa menghadapi krisis ekonomi yang lebih dalam.
“Defisit anggaran yang membesar, sementara penerimaan pajak justru menurun, dapat memicu ketidakpuasan sosial yang berujung pada potensi gejolak di masyarakat,” tambahnya.
Belajar dari Pandemi COVID-19
Sebagai solusi, Wayan menekankan pentingnya kebijakan yang lebih jelas dan terarah dalam mengatasi krisis ini. Ia mencontohkan strategi pemerintah saat pandemi COVID-19, di mana penerapan kebijakan Asymmetric Auto Rejection berhasil menekan volatilitas pasar dengan membatasi penurunan harga saham maksimal 7% dalam sehari.
“Kebijakan pemerintah harus lebih terarah dan komunikasi dengan publik perlu diperbaiki agar tidak menambah ketidakpastian. Selain itu, diperlukan strategi konkret dalam pemulihan ekonomi,” terang Wayan.
Untuk mengembalikan kepercayaan pasar, Wayan mengusulkan tiga langkah utama: pertama, kebijakan pemulihan ekonomi yang realistis; kedua, penegakan hukum yang lebih tegas dan adil; dan ketiga, stabilitas politik yang lebih baik dengan menghindari kebijakan kontroversial.
Bagi investor, ia menyarankan agar lebih berhati-hati dalam mengelola portofolio. “Tahan aset tunai, perkuat cadangan dana darurat, dan pilih instrumen investasi yang lebih stabil seperti obligasi pemerintah, deposito, atau emas,” pesannya.
Meskipun kondisi pasar masih penuh tantangan, Wayan tetap optimistis bahwa dengan langkah yang tepat, Indonesia dapat kembali pulih dan mengembalikan kepercayaan investor. “Setipis apa pun harapan, tetap harus ada. Namun, harapan saja tidak cukup, perlu tindakan konkret dari semua pihak, terutama pemerintah,” tutupnya. (*)
Tinggalkan Balasan