Gunungan Garebeg Besar 2025 Disambut Tradisi Nyadhong: Simbol Harmoni Keraton dan Pemerintah

KABARSEMBADA.COM, YOGYAKARTA – Kota Yogyakarta kembali dipenuhi nuansa budaya sakral lewat perhelatan Garebeg Besar 2025, yang digelar untuk memperingati Hari Raya Idul Adha Tahun Je 1958. Yang membuat prosesi kali ini istimewa adalah dihidupkannya kembali tradisi Nyadhong, yaitu penjemputan gunungan oleh pejabat pemerintahan ke Keraton, sebagaimana dilakukan pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VII.

Tradisi ini menjadi penanda eratnya relasi antara institusi kerajaan dengan unsur kepemerintahan modern, serta simbol penguatan identitas budaya di tengah kehidupan masyarakat Yogyakarta yang semakin dinamis.

Sekda DIY Jemput Gunungan ke Keraton, Kawal hingga Kepatihan

Prosesi dimulai dari Keraton Yogyakarta, di mana Plh. Sekretaris Daerah DIY, Tri Saktiyana, secara langsung menjemput gunungan yang telah dipersiapkan oleh pihak Keraton. Iring-iringan dikawal pasukan adat Bregada Bugis, membawa pareden ubarampe (perlengkapan gunungan) menuju Kompleks Kepatihan.

Setibanya di sana, gunungan diserahkan kepada Didik Wardaya, Staf Ahli Gubernur DIY Bidang Sosial, Budaya, dan Kemasyarakatan. Selanjutnya, gunungan dibagikan kepada para abdi dalem dan pegawai keprajan secara tertib dan teratur.

“Kini birokrasi tidak pasif menunggu, tapi aktif menjemput. Ini mencerminkan pelayanan publik yang proaktif, sebagaimana filosofi budaya kita,” ujar Tri Saktiyana.

Rekonstruksi Budaya Era Sultan HB VII: Sekda Jadi Pepatih Dalem

Langkah Sekda DIY dalam memerankan posisi simbolik sebagai Pepatih Dalem bukan sekadar seremoni, tetapi bagian dari rekonstruksi budaya yang menempatkan unsur pemerintahan sebagai mitra strategis Keraton dalam menjaga tradisi.

Kepala Dinas Kebudayaan DIY, Dian Lakshmi Pratiwi, menyatakan bahwa penjemputan gunungan oleh Sekda menghidupkan kembali praktik lama yang dulu dilakukan oleh Patih Danurejo, tangan kanan Sultan HB VII.

“Rekonstruksi ini tidak berhenti di sini. Ke depan, kami berharap seluruh kepala daerah turut serta menjemput gunungan, sebagai simbol sinergi budaya dan pemerintahan,” ujarnya.

Tarian Prajurit Putri dan Iring-Iringan Sakral Ramaikan Garebeg

Garebeg Besar tahun ini juga menyajikan rekonstruksi tari sakral oleh Prajurit Putri Langenastra. Para prajurit wanita tampil memukau saat menuruni Sitihinggil dengan gerakan tayungan yang anggun, mengikuti iring-iringan Bregada Mantrijero.

Ketua Pelaksana Garebeg Besar 2025, KRT Kusumanegara, menjelaskan bahwa pementasan tersebut merupakan bagian dari pelestarian tata cara kerajaan yang telah lama tidak ditampilkan.

“Ini adalah bentuk penghormatan terhadap tradisi, sekaligus pendidikan budaya kepada generasi muda,” jelasnya.

Distribusi Gunungan Diperluas ke Empat Lokasi

Gunungan tidak hanya dibagikan di Kepatihan, tetapi juga disalurkan ke tiga lokasi penting lainnya: Masjid Gedhe Kauman, Ndalem Mangkubumen, dan Pura Pakualaman. Prosesi distribusi ini tetap dalam pengawalan prajurit Keraton dan Pakualaman, termasuk Dragunder dan Plangkir.

Menariknya, jalur kirab gunungan kali ini tidak melalui Alun-Alun Utara, melainkan melewati jalur alternatif: Regol Brajanala – Sitihinggil Lor – Pagelaran – dan langsung menuju Masjid Gedhe. Penyesuaian ini dilakukan untuk menjaga kelancaran serta makna sakral prosesi.

Garebeg Besar: Refleksi Spiritual dan Simbol Persatuan

Garebeg Besar 2025 tidak hanya menjadi perayaan budaya, tetapi juga menyimpan makna spiritual dan sosial yang dalam. Gunungan yang dibagikan satu per satu secara tertib menjadi simbol berkat raja kepada rakyat, sekaligus pengingat bahwa budaya Yogyakarta dibangun di atas nilai kesopanan, keteraturan, dan penghormatan terhadap warisan leluhur.

“Kita jaga tatanan, kita jaga warisan. Ini bukan sekadar upacara, tetapi bentuk peradaban,” terang KRT Kusumanegara. (*)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *