Pakar Geothermal UGM: Energi Panas Bumi di Flores Harus Selaras dengan Budaya Lokal

KABARSEMBADA.COM, YOGYAKARTA – Pulau Flores di Nusa Tenggara Timur (NTT) menyimpan potensi besar sebagai sumber energi bersih melalui pemanfaatan panas bumi atau geothermal.

Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), terdapat lebih dari 30 titik potensi panas bumi di Flores dengan total kapasitas mencapai sekitar 900 megawatt (MW). Tak heran jika sejak 2017, wilayah ini dijuluki sebagai Pulau Panas Bumi.

Namun, hingga kini, pemanfaatannya masih minim. Kapasitas terpasang pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) di Flores baru mencapai sekitar 18 MW atau kurang dari 25 persen dari kebutuhan listrik NTT. Alhasil, lebih dari 75 persen kebutuhan energi masih bergantung pada bahan bakar fosil yang diimpor dari luar daerah, dengan beban subsidi negara mencapai Rp790 miliar per tahun.

Transisi Energi Butuh Dukungan Sosial dan Budaya

Pakar geothermal dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Ir. Pri Utami, M.Sc., Ph.D., IPM, menilai bahwa pengembangan panas bumi di Flores harus mengedepankan pendekatan yang menghormati budaya lokal agar tidak memicu penolakan masyarakat.

Hal ini disampaikannya dalam forum lintas sektor yang digelar di Kantor Gubernur NTT pada 28 April lalu. Acara tersebut mempertemukan perwakilan pemerintah pusat, daerah, akademisi, pelaku usaha, dan organisasi non-pemerintah untuk membahas arah kebijakan pengembangan energi terbarukan di Flores.

“Jika pendekatan terhadap masyarakat tidak menyatu dengan nilai-nilai budaya dan adat istiadat, maka proyek energi berisiko tinggi menghadapi penolakan sosial,” tegas Pri Utami.

Ia menekankan bahwa proyek panas bumi harus dirancang sejak awal dengan memperhatikan struktur sosial dan budaya setempat. Menurutnya, pelestarian lingkungan dan kesejahteraan masyarakat bisa berjalan beriringan jika nilai-nilai lokal dilibatkan dalam proses perencanaan dan pelaksanaan.

Sinergi Energi dan Ekonomi Lokal

Pri Utami juga menyoroti pentingnya pemetaan kegiatan ekonomi lokal sebelum proyek panas bumi dijalankan. Menurutnya, pemanfaatan energi geothermal harus terintegrasi dengan potensi sektor lain seperti pariwisata, pertanian, hingga industri kreatif.

“Panas bumi jangan berdiri sendiri. Ia harus jadi penggerak ekosistem ekonomi lokal yang berkelanjutan,” ujarnya, Selasa (6/5/2025).

Dengan pendekatan ini, energi panas bumi tidak hanya menjadi sumber listrik, tetapi juga pendorong ketahanan ekonomi masyarakat setempat, sehingga risiko ketergantungan terhadap satu sektor dapat ditekan.

Regulasi dan Edukasi Jadi Kunci Keberlanjutan

Lebih lanjut, Pri mendorong pemerintah untuk menerbitkan regulasi khusus terkait pemanfaatan langsung panas bumi yang ramah lingkungan dan berorientasi pada penciptaan lapangan kerja hijau.

Ia juga menekankan pentingnya pendidikan berbasis lokal yang mengangkat potensi panas bumi dalam kurikulum formal maupun informal. “Edukasi sejak dini akan menumbuhkan rasa memiliki terhadap kekayaan alam daerah sendiri,” katanya.

Salah satu aspek yang tak kalah penting adalah keterbukaan informasi terkait dampak lingkungan dari pengembangan proyek panas bumi. Menurutnya, masyarakat berhak mengetahui kondisi awal lingkungan, hasil pemantauan, serta strategi mitigasi yang dilakukan.

“Dengan transparansi, pengawasan partisipatif menjadi mungkin. Ini penting untuk membangun kepercayaan,” tambahnya.

Sebagai institusi pendidikan, UGM dinilai memiliki peran strategis dalam mendukung pengembangan energi panas bumi di Indonesia, khususnya di wilayah timur seperti NTT. UGM berpotensi menyumbang sumber daya manusia unggul, riset eksplorasi, teknologi ramah lingkungan, serta jembatan komunikasi antara teknologi dan kearifan lokal.

“Pengembangan energi terbarukan harus mengedepankan prinsip keadilan sosial, pelestarian lingkungan, dan kesejahteraan masyarakat,” papar Pakar geothermal UGM, Pri Utami. (*)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *