Sengketa Empat Pulau, Pakar Geodesi UGM: Aceh Harus Tunjukkan Dokumen Asli

KABARSEMBADA.COM, YOGYAKARTA – Sengketa batas wilayah antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara kembali mencuat, menyusul Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 300.2.2-2138 yang menetapkan empat pulau, Pulau Mangkir Gadang, Mangkir Ketek, Lipan, dan Panjang sebagai bagian dari Sumatera Utara sejak April 2025. Penetapan ini menuai protes dari Pemerintah Aceh yang menilai wilayahnya tergerus.

Pakar Geodesi Universitas Gadjah Mada (UGM), I Made Andi Arsana, S.T., M.E., Ph.D., membeberkan akar permasalahan yang terjadi sejak proses pendataan pulau oleh Tim Nasional pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, sekitar tahun 2008.

“Tim Nasional waktu itu memang hanya bertugas mendata, bukan menentukan kepemilikan. Jadi jika satu pulau sudah terdaftar oleh provinsi lain, maka tidak didata ulang,” ujar Andi, Selasa (17/6/2025).

Menurutnya, Sumatera Utara telah lebih dulu mendaftarkan 213 pulau pada 14–16 Mei 2008, termasuk empat pulau yang disengketakan. Sementara Aceh dalam proses 20–22 November 2008 tidak mendaftarkan pulau tersebut, melainkan empat pulau lain: Rangit Besar, Rangit Kecil, Malelo, dan Panjang.

Andi menyebutkan, data awal itu diverifikasi Sumut pada 2009, sedangkan Aceh justru mengajukan perubahan nama pada titik koordinat yang sudah ada, tanpa mengganti koordinatnya. Hal inilah yang menimbulkan kebingungan di Badan Informasi Geospasial (BIG).

“Cikal bakal masalahnya di sini. Sumatera Utara sudah mendaftarkan dahulu, kemudian Aceh memasukkan data baru dengan titik koordinat yang sama tapi nama berbeda. Secara administratif, data yang konsisten lebih bisa dipercaya,” terang Andi.

BIG pun dalam laporan 2021 menyebut keempat pulau tersebut sebagai bagian dari Indonesia, tanpa menyebut secara spesifik milik provinsi mana. Namun konflik makin rumit ketika Aceh pada 2022 mengajukan dokumen perjanjian batas wilayah tahun 1992, yang menunjukkan empat pulau tersebut berada di dalam wilayah Aceh.

Sayangnya, dokumen itu hanya berupa salinan hitam putih. “Kalau memang dokumen ini sah, maka semestinya Kemendagri dan Sumatera Utara juga menyimpan dokumen aslinya. Jika Aceh berhasil menunjukkan versi aslinya, maka klaim itu bisa dipertimbangkan,” tegas Andi.

Di sisi lain, Aceh diketahui telah beraktivitas di empat pulau tersebut sejak sebelum 2008, meskipun tidak berpenghuni. Namun Andi menegaskan, aktivitas di wilayah sengketa hanya sah jika didukung status hukum yang jelas.

Saat ini, kekuatan administratif berada di tangan Sumatera Utara. Untuk mengakhiri polemik ini, Andi menilai diperlukan dokumen autentik yang menunjukkan kepemilikan sebelum tahun 2008. (*)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *