Ekonom FEB UGM: Program Makan Bergizi Gratis Harus Tepat Sasaran

KABARSEMBADA.COM, YOGYAKARTA – Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah menimbulkan pro dan kontra. Dengan anggaran awal sebesar Rp71 triliun yang berpotensi membengkak, muncul kekhawatiran bahwa program ini dapat mempengaruhi alokasi dana di sektor lain, seperti pendidikan dan kesehatan. Lantas, apakah program ini benar-benar bermanfaat atau justru menjadi beban anggaran negara?

Koordinator Bidang Kajian Pengentasan Kemiskinan dan Ketimpangan (EQUITAS) Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM), Wisnu Setiadi Nugroho, S.E., M.Sc., M.A., Ph.D., menilai MBG bisa memberikan manfaat signifikan jika dijalankan dengan tepat sasaran, terutama bagi kelompok rentan. Menurutnya, program ini berpotensi meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui perbaikan gizi dan kesehatan anak.

“Data Journal of the Academy of Nutrition and Dietetics tahun 2023 menunjukkan bahwa anak-anak yang mendapatkan makanan gratis memiliki ketahanan pangan dan kesehatan yang lebih baik. Selain itu, laporan Brookings Institution tahun 2021 menyebutkan bahwa program makan gratis berdampak positif terhadap kinerja akademik siswa,” jelas Wisnu dalam siaran pers, Jumat (7/3/2025).

Selain berdampak pada pendidikan, program ini juga bisa meningkatkan produktivitas tenaga kerja dalam jangka panjang. Namun, terkait dengan penanganan stunting, Wisnu menilai bahwa dampaknya masih perlu dikaji lebih lanjut.

“Pencegahan stunting harus dimulai sejak usia dini, yaitu sebelum lima tahun atau pada golden age anak,” tambah Wisnu.

Tantangan Implementasi MBG

Meskipun bermanfaat, MBG menghadapi berbagai tantangan, terutama dalam aspek distribusi dan pengadaan bahan makanan. Wisnu menilai program ini berisiko mengalami pemborosan karena sifatnya yang universal, di mana anak-anak dari keluarga mampu juga menerima manfaatnya.

Selain itu, pengawasan terhadap kualitas makanan juga menjadi tantangan. Pemerintah harus memastikan bahwa makanan yang disediakan benar-benar memenuhi standar gizi dan kualitas yang ditetapkan.

Pembelajaran dari Negara Lain

Wisnu menjelaskan bahwa program serupa juga diterapkan di negara lain. Di Amerika Serikat, program makan gratis menjadi kebijakan nasional melalui skema Farm to Table, yang didanai oleh Sustainable Agriculture Research and Education (SARE). Program ini melibatkan petani, peternak, pendidik, serta komunitas lokal untuk mendukung sistem distribusi pangan yang lebih inovatif.

“Program ini tidak hanya menyediakan makanan bergizi bagi anak-anak sekolah tetapi juga membantu meningkatkan kesejahteraan ekonomi daerah dengan menekan biaya logistik,” jelas Wisnu.

Selain itu, Amerika Serikat juga memiliki National School Lunch Program (NSLP), yang memberikan makanan bergizi bagi jutaan anak dari keluarga berpenghasilan rendah. Program ini mengikuti standar gizi yang ditetapkan dalam Healthy, Hunger-Free Kids Act (HHFKA) 2010.

“Pemerintah AS mengalokasikan anggaran khusus dengan melibatkan dapur dan pemasok makanan lokal untuk menjaga kualitas gizi,” terang Wisnu.

Namun, Wisnu menekankan bahwa program semacam ini harus dikelola dengan baik agar tidak merugikan petani kecil dan bisnis lokal. Jika terlalu sentralistik, hanya vendor besar yang mendapatkan keuntungan, sementara petani kecil dan UMKM lokal bisa tersingkir.

Alternatif Kebijakan untuk MBG

Agar lebih efektif, Wisnu menyarankan agar pemerintah memprioritaskan daerah dan sekolah dengan tingkat food insecurity tertinggi. Dengan anggaran yang terbatas, program ini sebaiknya difokuskan pada anak-anak dari keluarga kurang mampu.

“Solusi lainnya adalah dengan memberikan subsidi bahan pangan, voucher makanan, atau insentif bagi sekolah agar lebih fleksibel dalam menyediakan makanan bergizi,” ujar Wisnu.

Wisnu juga menekankan pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan anggaran. Audit independen dan keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dapat memastikan efektivitas program ini.

“Pendekatan desentralisasi bisa menjadi strategi yang lebih efektif. Pemerintah daerah lebih memahami kebutuhan wilayahnya dan dapat memberdayakan UMKM lokal dalam penyediaan bahan pangan,” tandas Wisnu.

Selain itu, efisiensi belanja negara juga perlu ditingkatkan agar program ini berjalan berkelanjutan. Jika pemangkasan anggaran diperlukan, sebaiknya dilakukan pada belanja birokrasi, perjalanan dinas, atau proyek infrastruktur yang tidak mendesak.

“Pemerintah harus memastikan bahwa program ini tidak hanya menjadi kebijakan populis jangka pendek, tetapi benar-benar menciptakan dampak nyata dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia,” terang Wisnu. (*)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *