Bukan Sekadar Pemilu, Prof Gabriel Lele Kukuhkan Gagasan Demokrasi yang Hidup dalam Kebijakan Publik

KABARSEMBADA.COM, YOGYAKARTA – Demokrasi sejati tak boleh berhenti di bilik suara. Begitulah pesan kuat yang disampaikan Prof. Dr. Phil. Gabriel Lele, S.IP., M.Si, saat resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar Tata Kelola Kebijakan Publik di Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM) di Balai Senat UGM, Kamis (5/6/2025).

Dalam pidato ilmiah bertajuk “Democracy Beyond Election: Kebijakan Publik Agonistik sebagai Agenda Transformasi”, Prof. Gabriel menyoroti realita demokrasi Indonesia yang menurutnya masih terjebak dalam ritual prosedural pemilu, tanpa roh partisipasi yang sejati dalam proses kebijakan publik.

“Demokrasi tidak boleh berhenti pada pemilu, tetapi mesti hidup dalam kebijakan publik sebagai ruang perjumpaan yang setara antarwarga,” tegas Gabriel.

Kebijakan Publik: Arena Konflik atau Alat Kekuasaan

Prof. Gabriel mengkritik keras praktik kebijakan publik di Indonesia yang menurutnya kerap menimbulkan paradoks. Alih-alih menyelesaikan masalah, banyak kebijakan justru melahirkan konflik baru. Ia menyebut sejumlah program kontroversial seperti pemindahan Ibu Kota Negara, program makan bergizi gratis, hingga proyek strategis nasional (PSN), sebagai contoh kebijakan yang menutup ruang dialog publik.

“Kebijakan publik tidak boleh menjadi alat kekuasaan yang membungkam, tapi harus menjadi arena perbedaan yang setara,” kata Gabriel dengan lugas.

Gabriel memetakan tiga “penyakit” utama dalam praktik kebijakan publik saat ini: populisme, otoritarianisme, dan penyeragaman kebijakan. Ketiganya muncul karena penolakan terhadap konflik dan keragaman pandangan, dua unsur yang justru esensial dalam demokrasi.

Tawarkan Paradigma Baru: Konflik yang Saling Menghormati

Menghadirkan pendekatan agonistik, Prof. Gabriel menawarkan gagasan segar: konflik bukan ancaman, tapi bagian alami dari masyarakat yang plural. Menurutnya, demokrasi yang sehat justru dibangun dari konflik yang dikelola secara terbuka, adil, dan saling menghormati.

“Kita membutuhkan lebih banyak respectful conflict daripada konsensus semu,” ungkapnya, menolak model konsensus yang menyingkirkan suara-suara minoritas.

Dalam kerangka ini, publik diposisikan sebagai subjek aktif, bukan sekadar penonton dalam proses kebijakan. Pendekatan ini dipercaya akan memperkuat legitimasi dan kualitas demokrasi Indonesia.

Kampus Harus Jadi Arena Multiversitas, Bukan Menara Gading

Menurut Prof. Gabriel, transformasi kebijakan publik tidak akan terjadi jika universitas hanya menjadi pusat pengajaran teknokratik. Ia menegaskan pentingnya menciptakan ekosistem akademik yang kritis, reflektif, dan berpihak pada nilai-nilai kebebasan dan kesetaraan.

“Universitas harus menjadi multiversitas, ruang di mana pluralitas tumbuh tanpa kehilangan semangat persatuan,” ucapnya.

Gabriel menyoroti bahwa pemaknaan “kebijakan publik” kini bergeser menjadi “kebijakan pemerintah”, yang menandai keterputusan antara rakyat dan keputusan politik. Ia menyerukan agar kampus kembali menjadi ruang tumbuhnya civic education yang memerdekakan.

Prof. Gabriel mengajak seluruh pemangku kepentingan pemerintah, akademisi, hingga masyarakat sipil untuk berani membuka ruang konflik yang sehat dan produktif demi demokrasi yang hidup dan kontekstual.

“Demokrasi yang vibran hanya mungkin lahir dari publik yang berani berbeda dan negara yang bersedia mendengarkan,” pungkasnya.

Ketua Majelis Dewan Guru Besar UGM, Prof. Dr. M. Baiquni, M.A., menyampaikan bahwa dengan pengukuhan ini, Prof. Gabriel menjadi bagian dari 531 Guru Besar aktif di UGM, termasuk 39 Guru Besar aktif FISIPOL.

Pengukuhan ini memperkuat posisi UGM sebagai pusat unggulan tata kelola kebijakan publik dan memperkaya warisan keilmuan yang terus tumbuh demi kemajuan bangsa. (*)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *