KABARSEMBADA.COM, BANTUL – Desa Wisata Wukirsari di Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, kembali mengukir prestasi membanggakan. Lewat keindahan dan kekayaan makna batik tulis yang diwarisi turun-temurun, desa ini dinobatkan sebagai salah satu Best Tourism Village 2024 oleh UN Tourism. Penghargaan internasional tersebut menempatkan Wukirsari sebagai ikon baru pariwisata budaya berbasis komunitas yang menginspirasi dunia.
Pengelola Desa Wisata Wukirsari, Ahmad Bahtiar, menyebut pencapaian ini merupakan hasil dari kerja kolektif warga yang sejak lama menjaga tradisi membatik secara konsisten. “Batik di sini bukan sekadar kain, tapi warisan budaya sejak era Keraton Mataram tahun 1634,” ungkap Ahmad saat ditemui di Kampung Batik Giriloyo, Selasa (3/6/2025).
Membatik di Wukirsari adalah sebuah seni sekaligus filosofi. Proses pembuatannya bisa memakan waktu hingga tiga bulan, dimulai dari membuat pola (molo), melowongi (menggambar garis besar), hingga proses pewarnaan (dibabar) dan pelorotan lilin. Teknik ini menjaga agar warna tidak menyebar ke motif lain, menghasilkan karya yang eksklusif dan sarat makna.
“Setiap motif punya cerita,” ujar Ahmad. Misalnya, Sirgunggu Wiguna, motif khas Wukirsari yang sudah mendapat hak cipta, diambil dari nama tanaman obat tradisional. Ada pula Wahyu Tumurun yang pernah dibeli oleh Kaisar Naruhito dari Jepang, menggambarkan harapan akan petunjuk ilahi. Motif Sido Mukti mengandung doa agar hidup sejahtera, sementara Parang melambangkan kekuatan dan kepemimpinan.
Tak hanya motif klasik, Wukirsari juga menciptakan desain kontemporer seperti Aquarium, dengan sentuhan warna sintetis yang lebih modern, menjawab selera pasar muda tanpa meninggalkan akar tradisi.
Kisah Wukirsari bukan sekadar tentang batik, tapi juga ketangguhan. Setelah dihantam gempa besar pada 2006 yang meluluhlantakkan perekonomian warga, batik menjadi jalan kebangkitan. Melalui pelatihan dan pemberdayaan, mereka bangkit dan mencetak sejarah pada 2007 dengan memecahkan rekor MURI untuk selendang batik tulis terpanjang.
Momentum tersebut menjadi titik balik. Tahun 2008, identitas desa diperkuat dengan mendeklarasikan Wukirsari sebagai Kampung Batik Giriloyo, bersamaan dengan pengakuan UNESCO atas batik Indonesia sebagai Warisan Budaya Dunia.
“Batik tulis itu harus menggunakan malam panas. Kalau dicetak atau diprint, itu bukan batik. Ini penting agar budaya kita tidak salah kaprah,” tegas Ahmad.
Wisata Budaya yang Hidupkan Ekonomi
Wukirsari tidak hanya menjual batik sebagai produk, tapi juga sebagai pengalaman. Wisatawan domestik dan mancanegara diajak langsung mencoba membatik, menonton kesenian tradisional seperti Wayang Tingklung dan Sholawat Rodad, serta menikmati kuliner khas desa. Pada 2019, jumlah kunjungan mencapai 29.000 orang.
Konsep Community Based Tourism yang diterapkan di desa ini mengintegrasikan seluruh warga: dari pembatik, juru masak, hingga pemandu lokal. “Ini adalah desa wisata yang hidup dari gotong royong dan keahlian warganya,” ujar Ahmad.
Pandemi COVID-19 sempat membuat sektor pariwisata lumpuh total. Namun, sejak 2022, Wukirsari bangkit kembali dengan memperoleh sertifikasi desa wisata berkelanjutan dari Kemenparekraf dan menyabet Juara 1 Anugerah Desa Wisata Indonesia 2023. Penghargaan dari UN Tourism 2024 menandai klimaks kebangkitan tersebut, mendorong lonjakan kunjungan hingga hampir 10.000 wisatawan per bulan.
Tak ketinggalan zaman, pemasaran batik Wukirsari telah menembus ranah digital sejak 2008 melalui situs web dan kini aktif di Instagram, TikTok, Google Maps, hingga YouTube Shop. Produk batiknya telah menjangkau pasar internasional seperti Filipina, Jepang, Australia, Selandia Baru, dan Amerika Serikat.
Model bisnisnya didukung oleh Koperasi Jasa Kampung Batik Giriloyo yang memastikan sistem bagi hasil adil bagi pembatik. “Kami ingin budaya batik tetap lestari, sambil membuka peluang ekonomi baru untuk generasi muda,” jelas Ahmad.
Dengan dukungan penuh dari berbagai tingkatan pemerintah, dari kelurahan hingga internasional, Desa Wukirsari kini menjadi contoh sukses sinergi budaya, ekonomi, dan digitalisasi dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan. (*)
Tinggalkan Balasan