Rasulan di Gunungkidul Jadi Simbol Persatuan dan Syukur Warga atas Hasil Panen

KABARSEMBADA.COM, GUNUNGKIDUL – Tradisi adat Rasulan kembali digelar dengan semarak di Balai Kalurahan Balong, Kapanewon Girisubo, Rabu (14/5/2025). Acara tahunan ini bukan hanya menjadi bentuk syukur atas panen melimpah, tetapi juga sarana mempererat tali persaudaraan dan melestarikan budaya lokal yang mulai tergerus zaman.

Wakil Bupati Gunungkidul, Joko Parwoto, hadir langsung dalam upacara adat tersebut. Dalam sambutannya, ia menekankan pentingnya menjaga warisan budaya sebagai identitas bangsa sekaligus penguat kohesi sosial antarwarga.

“Selamat merayakan Rasulan kepada seluruh warga Kalurahan Balong. Semoga kegiatan budaya ini menjadi ajang mempererat persaudaraan sekaligus menghidupkan seni, budaya, dan ekonomi kreatif masyarakat,” ujar Joko.

Lebih lanjut, Joko mengingatkan pesan Presiden pertama RI, Soekarno, soal pentingnya menjaga persatuan dalam keberagaman.

“Bung Karno pernah mengatakan, Republik Indonesia yang terdiri dari beragam suku, agama, dan adat istiadat harus dijaga keutuhannya agar tidak retak,” ungkapnya.

Tradisi Rasulan tahun ini diikuti oleh sembilan padukuhan di Kalurahan Balong. Setiap padukuhan membawa gunungan berisi hasil bumi seperti padi, sayuran, dan buah-buahan. Gunungan ini kemudian didoakan secara adat dan diperebutkan warga dalam prosesi yang penuh suka cita.

Menurut Lurah Kalurahan Balong, Sumarjo, tradisi ini menjadi bentuk rasa syukur masyarakat atas keberkahan hasil panen.

“Antusiasme warga sangat luar biasa. Selain kirab gunungan, ada juga turnamen sepak bola, pertunjukan reog, dan nanti malam akan ditutup dengan pagelaran wayang kulit,” jelasnya.

Rasulan bukan hanya tradisi sakral, tapi juga potensi besar dalam pengembangan sektor pariwisata dan ekonomi kreatif lokal. Momen ini membuktikan bahwa budaya bukanlah masa lalu, melainkan kekuatan masa kini untuk membangun masyarakat yang adil, makmur, lestari, dan berkeadaban.

Melalui tradisi ini, masyarakat Balong mengirim pesan bahwa harmoni sosial bisa dirawat melalui budaya. Di tengah derasnya arus modernisasi, Rasulan menjadi pengingat bahwa kearifan lokal tetap relevan dan patut dilestarikan. (*)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *