RUU Masyarakat Adat Kembali Dibahas, Akademisi UGM: Ini Saatnya Negara Bertindak

KABARSEMBADA.COM, SLEMAN– Setelah lebih dari sepuluh tahun tertunda, Rancangan Undang-Undang (RUU) Masyarakat Adat akhirnya kembali dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.

Keputusan ini mendapat sambutan positif dari berbagai pihak, terutama akademisi dan aktivis yang sudah lama memperjuangkan pengakuan hak masyarakat adat, termasuk Dr. Yance Arizona, S.H., M.H., M.A., dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) sekaligus peneliti hukum adat.

Menurut Yance, ini adalah kesempatan yang tidak boleh disia-siakan untuk memperkuat posisi masyarakat adat dalam sistem hukum nasional. Setelah penantian yang panjang, banyak pihak menaruh harapan besar agar pembahasan dan pengesahan RUU ini dapat dilakukan lebih serius dan lebih cepat.

“Sudah lebih dari satu dekade RUU ini ada di DPR, namun belum juga disahkan. Kini, dengan dimasukkannya kembali ke dalam Prolegnas, kita berharap ada komitmen politik yang lebih nyata untuk segera menuntaskan legislasi ini,” ujar Yance saat ditemui di Yogyakarta, Kamis (8/5/2025).

Substansi RUU Perlu Diperkuat dengan Pendekatan Omnibus

Meskipun sudah bertahun-tahun dibahas, draf RUU Masyarakat Adat yang ada saat ini dianggap masih kurang memadai. Yance menyebutkan bahwa draf tersebut belum mampu mengatasi masalah tumpang tindih regulasi antara sektor-sektor seperti kehutanan, pertambangan, dan pendidikan yang selama ini menghambat pengakuan hak-hak masyarakat adat.

“Untuk menyelesaikan masalah tersebut, pendekatan kodifikasi melalui metode omnibus law bisa menjadi solusi. Pendekatan ini memungkinkan undang-undang sektoral yang berhubungan dengan masyarakat adat untuk diselaraskan dalam satu kerangka hukum yang lebih koheren,” jelasnya.

Tanpa adanya reformulasi substansi yang tepat, lanjut Yance, RUU ini berisiko menjadi produk hukum yang lemah dan sulit diimplementasikan dengan baik. Ia juga menegaskan pentingnya penegasan prinsip-prinsip fundamental seperti legalitas tanah adat, registrasi masyarakat adat, serta penerapan prinsip Free, Prior and Informed Consent (FPIC), yang sudah diatur dalam United Nations Declaration on the Rights of Indigenous Peoples (UNDRIP).

Mengharmonisasi Hukum Adat dan Hukum Negara

Yance menambahkan bahwa RUU ini juga memiliki peran penting dalam meredakan ketegangan antara hukum adat dan hukum negara. Berbagai undang-undang sektoral yang ada selama ini, meskipun mengatur masyarakat adat, justru menciptakan tumpang tindih yang menambah ketidakpastian hukum.

“RUU ini bisa menjadi jembatan untuk menyatukan hukum adat dengan hukum negara. Kedua sistem hukum ini seharusnya saling melengkapi, bukan saling menegasikan,” ungkap Yance. Dengan begitu, masyarakat adat tidak lagi berada dalam posisi marjinal dalam sistem hukum nasional.

Menepis Anggapan Masyarakat Adat Hambat Investasi

Salah satu alasan penundaan pengesahan RUU ini adalah kekhawatiran bahwa pengakuan terhadap masyarakat adat dapat menghambat investasi. Yance membantah anggapan tersebut. Menurutnya, masalah muncul bukan karena masyarakat adat menolak investasi, melainkan karena pengakuan terhadap hak mereka atas tanah seringkali diabaikan.

“Investasi yang tidak melibatkan masyarakat adat secara adil dan tidak mengakui hak mereka atas tanah justru menimbulkan ketidakadilan dan konflik. Jika hak-hak masyarakat adat diakui sejak awal, pembangunan bisa lebih inklusif dan minim gesekan,” tegas Yance.

Sebagai akademisi dan aktivis hukum, Yance berharap DPR dan pemerintah tidak lagi menggunakan draf lama yang sudah tidak relevan dengan kondisi saat ini. Ia mendorong penyusunan draf baru yang lebih sesuai dengan dinamika sosial-politik dan kebutuhan masyarakat adat di tingkat lokal maupun global.

“RUU ini perlu disusun ulang agar lebih sesuai dengan perkembangan zaman, baik di tingkat nasional maupun daerah. Proses legislasi ini bukan hanya soal substansi, tapi juga soal keberpihakan politik negara dalam melindungi masyarakat adat,” jelasnya.

Selain itu, Yance menekankan pentingnya proses legislasi yang partisipatif, yang melibatkan masyarakat adat secara langsung. Ia berpendapat bahwa partisipasi bukan sekadar formalitas, tetapi harus melibatkan mereka dalam setiap tahap perencanaan hingga evaluasi.

“Pemerintah harus mengadopsi pendekatan multibahasa dan melibatkan fasilitator lokal untuk memastikan suara masyarakat adat benar-benar terwakili. Ini tantangan bagi pemerintah untuk menjadikan pembuatan undang-undang ini sebagai contoh legislasi yang inklusif dan partisipatif,” papar Yance. (*)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *