KABARSEMBADA.COM, YOGYAKARTA – Dalam upaya memperkuat demokrasi partisipatif di kalangan generasi muda, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Pemerintah Kota Yogyakarta menggelar Sekolah Demokrasi yang diikuti 100 pemuda dari berbagai latar belakang di The Alana Malioboro, Kota Yogyakarta, Selasa (6/5/2025).
Acara ini digagas sebagai bentuk investasi jangka panjang dalam menciptakan ruang diskusi dan edukasi politik bagi generasi penerus bangsa.
Kepala Bidang Politik Dalam Negeri dan Organisasi Kesbangpol Pemkot Yogyakarta, Polana Setiya Hati, menegaskan bahwa Yogyakarta memiliki tanggung jawab besar sebagai “laboratorium demokrasi” di Indonesia.
“Sebagai kota pendidikan dengan dominasi penduduk usia muda, Yogyakarta berpotensi menjadi pionir demokrasi sehat lewat pendidikan politik yang sistematis dan inklusif,” ujar Polana.
Polana menekankan bahwa pemahaman demokrasi tidak boleh berhenti pada rutinitas pemilu semata. Demokrasi yang ideal, menurutnya, adalah yang memberi ruang bagi publik terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan secara akuntabel.
“Sekolah Demokrasi ini bertujuan melahirkan agen perubahan. anak muda yang mampu menjadi edukator, motivator, dan mobilisator di lingkungannya,” imbuh Polana.
Peneliti dari PolGov UGM, Fitria Yuniarti, mengungkapkan urgensi pendidikan politik sejak dini bagi generasi muda. Ia menyebut pada Pemilu 2029, diperkirakan lebih dari 60 persen pemilih berasal dari generasi Z dan Alpha.
“Jika sejak sekarang mereka tidak dibekali nalar kritis dan pemahaman politik yang sehat, maka masa depan demokrasi kita bisa berada dalam risiko. Karena siapa yang mereka pilih, akan menentukan wajah Indonesia ke depan,” terang Fitria.
Sementara itu, anggota Bawaslu Kota Yogyakarta, Siti Nurhayati, menyoroti masih maraknya praktik politik uang yang menyasar kelompok rentan seperti lansia, perempuan, penyandang disabilitas, dan masyarakat miskin.
“Mereka minim akses informasi dan pendidikan politik, sehingga mudah dimanfaatkan. Harapannya, peserta Sekolah Demokrasi ini bisa menjadi agen penyebar literasi politik yang berkelanjutan,” jelas Nurhayati.
Rich, salah satu peserta yang juga mahasiswa, mengangkat isu aksesibilitas politik bagi kaum disabilitas.
“Mereka butuh fasilitator khusus agar bisa mendapat haknya dalam demokrasi. Tanpa itu, mereka tetap akan tertinggal dalam proses politik,” tandas Nurhayati.
Sekolah Demokrasi ini akan berlangsung selama dua hari dengan beragam materi dan simulasi kebijakan publik. Program ini diharapkan menjadi langkah strategis dalam membangun demokrasi inklusif yang tidak hanya responsif, tapi juga partisipatif. (*)
Tinggalkan Balasan