Sri Sultan Tegaskan Lahan Abu Bakar untuk Parkir Bukan Pedagang, Pemkot Yogyakarta Diminta Bertanggung Jawab

KABARSEMBADA.COM, YOGYAKARTA – Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X, angkat bicara soal polemik penggunaan lahan Tempat Khusus Parkir (TKP) Abu Bakar Ali (ABA) yang kini dipenuhi pedagang kaki lima. Sultan secara tegas menyebut bahwa lahan tersebut bukan untuk berdagang, tapi khusus parkir, dan meminta Pemerintah Kota atau Pemkot Yogyakarta segera mengevaluasi kebijakan yang terjadi di lapangan.

“Pedagangnya, kenapa masuk? Yang suruh masuk siapa? Itu kan hanya untuk parkir, bukan untuk pedagang,” tegas Sri Sultan di Kompleks Kepatihan, Selasa (15/4/2025).

Pernyataan ini langsung menyita perhatian publik, terutama karena TKP ABA berada di area strategis kawasan Malioboro—ikon wisata utama di Yogyakarta. Sultan juga mempertanyakan siapa pihak yang memberikan izin hingga para pedagang bisa mengisi area tersebut.

“Saya enggak tahu, karena itu di-maintenance sama kota. Ya nanti kita cari pemecahan, tapi kita harus bicara sama kota,” lanjut Sri.

Untuk menyelesaikan kekisruhan ini, Sri Sultan akan mengutus Sekretaris Daerah (Sekda) DIY untuk berkoordinasi langsung dengan Pemkot Yogyakarta.

“Lha dulu yang masukkan siapa? Saya belum tahu. Biar nanti Pak Sekda yang rembugan sama kota,” ujar Sri dengan nada serius.

Menanggapi hal itu, Wali Kota Yogyakarta Hasto Wardoyo mengaku siap mendukung langkah Sri Sultan. Ia menilai penataan pedagang di kawasan tersebut perlu pendekatan lintas sektor.

“Tentu beda karena ada perencanaan dari Sekda provinsi untuk menata pedagang,” kata Hasto.

“Mungkin kami support apa pun yang dikehendaki Ngarsa Dalem,” tambahnya, menegaskan komitmen Pemkot.

Sri Sultan menyayangkan praktik alih fungsi ruang tanpa kejelasan regulasi dan tanggung jawab. Menurutnya, hal ini justru menciptakan polemik berkepanjangan.

“Kalau modelnya seperti ini, tidak akan pernah selesai. Wong dinggo parkir tapi dileboni orang lain. Akhirnya tidak bertanggung jawab,” sindir Sri Sultan.

Bahkan, Pemda DIY kerap diminta ikut menanggung dampaknya—mulai dari relokasi hingga pencarian solusi lapangan pekerjaan alternatif untuk para pedagang.

“Saya yang disuruh tanggung jawab, disuruh mencarikan pekerjaan, nyarikan tempat,” keluh Sri.

Pernyataan Sri Sultan turut diperkuat oleh Doni Rulianto, pengelola TKP ABA. Ia menegaskan sejak awal kawasan tersebut ditetapkan hanya sebagai lahan parkir.

“Setahu saya, peruntukannya TKP ABA memang untuk parkir. Pedagang ini kan fasilitas pendukung dulu, kalau tidak salah,” jelas Doni.

Meski terdapat fasilitas tambahan seperti toilet dan beberapa lapak, Doni menyebut keberadaan pedagang yang kini menjamur tidak sesuai konsep awal.

Doni juga mengungkapkan bahwa Dishub DIY sempat menawarkan relokasi ke Pasar Batikan, namun ditolak mentah-mentah oleh para pedagang.

“Mereka sepakat menolak solusi sementara dari Dishub untuk dipindah ke Batikan. Alasannya karena tempatnya belum ada kejelasan,” jelas Doni.

Kisruh di TKP ABA menjadi cermin betapa pentingnya sinergi antar instansi dalam menjaga fungsi ruang publik. Yogyakarta sebagai kota budaya dan wisata membutuhkan kawasan yang tertib, estetis, dan sesuai peruntukan.

Penegakan aturan yang tegas dan konsisten menjadi kunci agar konflik serupa tak terus berulang. Apalagi, kawasan seperti Malioboro adalah wajah utama Yogyakarta di mata wisatawan domestik maupun mancanegara. (*)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *