KABARSEMBADA.COM, YOGYAKARTA – Komitmen Universitas Gadjah Mada (UGM) untuk menjadi kampus inklusif tidak sekadar slogan. Kampus ini membuktikannya dengan membuka ruang seluas-luasnya bagi penyandang disabilitas, termasuk mahasiswa dengan spektrum autisme.
Dalam rangka memperingati Hari Kesadaran Autisme Sedunia, Unit Layanan Disabilitas (ULD) UGM menggelar diskusi bertajuk “Refleksi Hidup, Pendidikan, dan Pengalaman Mahasiswa Autisme dalam Pendidikan Tinggi di UGM“, Jumat (11/4/2025) lalu. Acara ini menghadirkan tiga mahasiswa autistik yang membagikan pengalaman mereka menempuh pendidikan tinggi di salah satu universitas terbaik di Indonesia.
Riani: Menepis Stigma, Meraih Mimpi di Fakultas Pertanian
Riani Wulan Sujarrivani, mahasiswi angkatan 2024 dari Program Studi Ilmu Tanah, mengisahkan perjuangannya sebagai penyandang Autism Spectrum Disorder (ASD). Ia sempat menghadapi stigma yang menyakitkan dianggap bodoh dan tidak mandiri hanya karena berbeda.
“Orang tua saya bahkan sampai berhenti bekerja demi mendampingi saya. Guru-guru di sekolah juga sangat mendukung, terutama dalam melatih kemandirian,” ujar Riani.
Tak mudah baginya masuk UGM. Ia gagal di tiga jalur seleksi pada tahun pertama, namun pantang menyerah. Riani kembali mencoba melalui Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) dan akhirnya lolos pada percobaan kedua.
Meski sudah diterima, tantangan tak serta-merta usai. Ia mengaku kesulitan mengerjakan tugas tepat waktu dan beradaptasi di laboratorium. Namun dukungan dari fakultas, seperti perpanjangan waktu tugas dan akses ke layanan disabilitas, sangat membantunya.
Siham: Perjalanan Penerimaan Diri dan Sistem Pendukung UGM
Siham Hamda Zaula Mumtaza, mahasiswa Ilmu dan Industri Peternakan angkatan 2019 asal Bukittinggi, juga mengalami perjuangan panjang. Ia didiagnosis autisme sejak SD dan telah mengikuti berbagai terapi. Namun, saat itu orang tuanya sempat menolak menerima diagnosis tersebut.
“Ayah saya bilang saya normal, tak ada kekurangan,” kata Siham.
Seiring berjalannya waktu, ULD UGM melakukan asesmen untuk memahami kebutuhannya secara menyeluruh. Pengaturan ulang dosen pengampu, pemberian informasi kepada asisten praktikum, serta pendampingan khusus menjadi bagian dari layanan yang ia dapatkan.
Bagi Siham, asesmen berkelanjutan sangat penting agar penyesuaian dalam pembelajaran selalu relevan. Ia berharap sistem layanan inklusif seperti ini terus diperkuat untuk mendukung mahasiswa berkebutuhan khusus di lingkungan akademik.
Rhaka: Membangun Epistemologi Autistik di Dunia Akademik
Berbeda dari dua narasumber sebelumnya, Muhammad Rhaka Katresna baru mendapatkan diagnosis autisme saat dewasa. Kini, ia tengah menempuh studi Magister Agama dan Lintas Budaya di Sekolah Pascasarjana UGM.
“Diagnosis autisme pada orang dewasa di Indonesia sangat sulit. Selama 27 tahun saya hidup tanpa tahu apa yang sebenarnya saya alami,” ungkap Rhaka.
Lulus dari Psikologi, Rhaka tertarik meneliti pengalaman autistik sebagai sumber pengetahuan. Di prodi Studi Agama dan Lintas Budaya, minatnya disambut baik. Ia merasa diberi ruang untuk membangun pendekatan ilmu dari perspektif orang autistik—sebuah hal yang jarang diakomodasi di dunia akademik Indonesia.
“Di sini, saya bisa mengkritisi ilmu dan membangun perspektif saya sendiri sebagai autistik,” ujarnya.
Rhaka juga menerima sejumlah fasilitas penunjang, seperti perpanjangan tenggat waktu, metode pembelajaran berbasis proyek, dan pendekatan yang lebih fleksibel.
Ia mengajak penyandang autisme untuk tidak takut menunjukkan jati diri. “Saya punya diagnosis ganda: autisme dan ADHD. Tapi saya bangga. Dan saya ingin teman-teman semua juga bangga menjadi diri sendiri,” pungkasnya.
Unit Layanan Disabilitas (ULD) UGM terus berupaya menciptakan lingkungan kampus yang inklusif dan ramah disabilitas. Tidak hanya melalui infrastruktur fisik, tapi juga kebijakan, pendampingan, serta penyediaan layanan yang disesuaikan dengan kebutuhan setiap individu.
Cerita Riani, Siham, dan Rhaka menjadi bukti nyata bahwa ketika kampus membuka ruang dan memberi dukungan yang tepat, mahasiswa dengan autisme pun bisa berkembang dan berprestasi setara dengan mahasiswa lainnya. (*)
Tinggalkan Balasan