Korupsi di Pertamina Berulang, Pakar UGM Dorong Reformasi Struktural

KABARSEMBADA.COM, SLEMAN – Kasus dugaan korupsi di Pertamina yang merugikan negara hingga Rp193 triliun kembali mencerminkan lemahnya tata kelola di perusahaan BUMN ini. Guru Besar Manajemen dan Kebijakan Publik Fisipol UGM, Prof. Dr. Gabriel Lele, menilai permasalahan ini bukan sekadar insiden tunggal, melainkan akumulasi dari praktik korupsi yang telah berlangsung selama puluhan tahun.

“Sejak era 1970-an, kasus korupsi di Pertamina terus terjadi tanpa adanya reformasi struktural yang benar-benar memperbaiki sistem tata kelola. Setiap skandal yang muncul hanya ditanggapi dengan solusi reaktif, bukan perubahan mendasar,” katanya, Selasa (18/3/2025).

Pengawasan Lemah dan Transparansi Minim

Salah satu faktor utama yang memungkinkan praktik korupsi terus berulang adalah lemahnya sistem pengawasan. Gabriel menilai mekanisme pengawasan, baik internal melalui audit maupun eksternal oleh DPR, tidak cukup efektif dalam mengungkap penyimpangan.

“Jika melihat besarnya angka kerugian, ada dua kemungkinan: sistem pengawasan yang gagal mendeteksi atau memang sengaja dibuat tidak berfungsi,” jelasnya.

Menurutnya, pengawasan tidak bisa hanya bertumpu pada mekanisme internal pemerintah, tetapi harus lebih melibatkan publik dan pemangku kepentingan lainnya.

Sebagai perusahaan yang memonopoli distribusi bahan bakar di Indonesia, Pertamina seharusnya lebih transparan dalam operasionalnya. Sayangnya, informasi mengenai kontrak, pihak yang terlibat, dan nilai transaksi sering kali tidak tersedia bagi publik. Akibatnya, masyarakat baru mengetahui adanya penyimpangan setelah skandal terungkap ke publik.

Monopoli dan Dampaknya bagi Konsumen

Kasus ini juga menyoroti dampak monopoli Pertamina. Di banyak daerah, masyarakat tidak memiliki alternatif lain dalam mendapatkan bahan bakar, meskipun harga dan kualitasnya kerap dipersoalkan. Gabriel mengusulkan agar pemerintah membuka peluang lebih besar bagi kompetitor untuk beroperasi di sektor energi nasional.

“Karena Pertamina memegang monopoli, masyarakat tidak punya pilihan lain, bahkan untuk sekadar menyuarakan ketidakpuasan,” ujarnya.

Selain berdampak pada kualitas layanan bagi masyarakat, skandal ini juga berisiko menurunkan kepercayaan publik terhadap pemerintah dan BUMN secara keseluruhan. Gabriel memperingatkan bahwa jika reformasi struktural tidak segera dilakukan, dampaknya bisa meluas ke sektor investasi.

“Investor, terutama dari luar negeri, akan mempertimbangkan stabilitas dan transparansi sebelum menanamkan modalnya di Indonesia. Jika skandal seperti ini terus terjadi, minat investasi bisa melemah,” terangnya.

Untuk mencegah kasus serupa terulang, Gabriel menekankan perlunya pengawasan yang lebih inklusif dengan melibatkan publik. Transparansi harus menjadi prioritas utama dalam tata kelola Pertamina.

“Minimal ada keterbukaan informasi, dan lebih baik lagi jika ada partisipasi publik dalam mengawasi kebijakan strategis Pertamina. Jika reformasi struktural tidak segera dilakukan, skandal serupa hanya tinggal menunggu waktu untuk kembali terulang,” paparnya (*)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *