KABARSEMBADA.COM, YOGYAKARTA – Sejumlah wilayah di Indonesia baru-baru ini mengalami fenomena langka, yakni hujan es. Peristiwa ini menarik perhatian publik karena jarang terjadi di daerah beriklim tropis seperti Indonesia. Hujan es pertama kali dilaporkan terjadi di sekitar Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, pada Selasa (13/3/2025). Butiran es berukuran kecil, seukuran kerikil, jatuh bersamaan dengan hujan deras. Fenomena serupa juga terjadi di Tasikmalaya pada Kamis (14/3/2025), disertai angin puting beliung yang cukup kencang.
Salah satu saksi mata kejadian di Yogyakarta, Nalya Naomi Tarigan, mahasiswa Fakultas Hukum UGM, mengaku terkejut saat menyadari adanya butiran es dalam hujan yang turun di kampusnya. Awalnya, ia hanya berniat merekam suasana hujan di sekitar Gedung Pusat UGM. Namun, setelah melihat hasil videonya, ia menyadari ada pantulan benda kecil yang memantul di permukaan tanah.
“Saya awalnya cuma ingin merekam hujan di UGM. Tapi saat melihat hasil videonya, saya kaget karena ada sesuatu yang memantul. Setelah dicek lebih dekat, ternyata itu bongkahan es kecil,” ungkap Nalya, Jumat (14/3/2025). Ia pun mengaku bahwa ini merupakan pengalaman pertamanya menyaksikan hujan es selama menempuh kuliah di UGM.
Pakar UGM Jelaskan Penyebab Hujan Es
Menanggapi fenomena ini, Dr. Emilya Nurjani, S.Si, M.Si, dosen Fakultas Geografi UGM, menjelaskan bahwa hujan es terjadi akibat pertumbuhan awan Cumulonimbus (Cb) yang sangat intensif. Proses ini didukung oleh tingginya kandungan uap air di atmosfer dan suhu udara yang relatif dingin di sekitar awan.
“Ketika awan Cumulonimbus berkembang pesat dan suhu di sekitarnya cukup rendah, kristal es di bagian atas awan dapat turun ke permukaan tanpa sempat mencair sepenuhnya. Inilah yang disebut hail atau hujan es,” ujar Emilya.
Menurutnya, fenomena hujan es masuk dalam kategori cuaca ekstrem, terutama jika butiran es yang jatuh berdiameter besar, berkisar antara 5 hingga 50 mm. Ia menambahkan bahwa hujan es bukanlah kejadian yang benar-benar baru di Indonesia. Beberapa kota, termasuk Yogyakarta, pernah mengalami peristiwa serupa beberapa tahun lalu.
Tidak Memiliki Pola Tertentu, Tapi Bisa Diprediksi
Emilya menjelaskan bahwa meskipun hujan es tidak memiliki pola kejadian yang pasti, fenomena ini dapat diprediksi dengan mengamati pertumbuhan awan Cumulonimbus, kondisi massa udara yang labil, serta proses konveksi yang kuat.
“Hujan es lebih sering terjadi di daerah kepulauan dan perkotaan yang dekat dengan sumber air dan memiliki suhu lingkungan yang panas. Ketika kondisi atmosfer mendukung, pertumbuhan awan Cumulonimbus menjadi lebih intensif dan berpotensi menghasilkan hujan es,” jelasnya.
Pentingnya Mitigasi dan Adaptasi terhadap Cuaca Ekstrem
Dengan meningkatnya kejadian cuaca ekstrem, Emilya menekankan pentingnya mitigasi dan adaptasi untuk menghadapi kondisi ini. Salah satu langkah mitigasi adalah meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kestabilan suhu Bumi agar tidak mengalami pemanasan global yang lebih parah.
“Tindakan sederhana seperti menanam pohon dan menjaga kelestarian hutan dapat membantu mengurangi dampak perubahan iklim. Selain itu, pemerintah juga perlu meningkatkan sosialisasi terkait mitigasi bencana akibat cuaca ekstrem,” tambahnya.
Emilya juga mengingatkan bahwa masyarakat harus lebih siap menghadapi berbagai bentuk cuaca ekstrem yang berpotensi menimbulkan bencana. “Mitigasi harus dilakukan oleh semua pihak. Pemerintah memiliki peran dalam edukasi dan penanganan bencana, sementara masyarakat perlu melakukan aksi nyata untuk beradaptasi dan mengurangi risiko yang ditimbulkan oleh cuaca ekstrem,” jelasnya. (*)
Tinggalkan Balasan