6 Warisan Budaya Tak Benda dari Kota Yogyakarta Ditetapkan, Kopi Joss hingga Cublak-Cublak Suweng Siap Go Global

KABARSEMBADA.COM, YOGYAKARTA – Kota Yogyakarta kembali menorehkan prestasi dalam pelestarian budaya. Enam unsur budaya lokal resmi ditetapkan sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) dalam seremoni yang digelar di Gedhong Pracimasana Kepatihan, Senin (26/5/2025).

Enam WBTB tersebut adalah tradisi Cublak-Cublak Suweng, Tari Wira Pertiwi, Tari Kuda-Kuda, Ketan Lupis Yogyakarta, Becak Yogyakarta, dan Kopi Joss. Penetapan ini menjadi tonggak penting dalam upaya menjaga identitas budaya Yogyakarta sekaligus memperluas dampak ekonomi kreatif berbasis budaya.

Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menekankan bahwa pelestarian budaya tidak hanya soal menjaga bentuk fisik atau penampilan semata, namun juga menyangkut nilai-nilai luhur dan fungsi sosial budaya yang terkandung di dalamnya.

“Warisan budaya bukan hanya untuk dikenang, tetapi untuk dihidupkan dalam keseharian masyarakat,” tegas Sultan.

Menurutnya, pemerintah memiliki tanggung jawab besar untuk melindungi dan memberdayakan pelaku budaya melalui kebijakan afirmatif, perlindungan hak kekayaan intelektual komunal, insentif ekonomi, hingga ruang ekspresi yang inklusif.

Penyerahan sertifikat WBTB, lanjut Sultan, merupakan bentuk pengakuan negara atas nilai-nilai budaya yang menjadi jati diri masyarakat Yogyakarta. Namun, ia menegaskan bahwa pengakuan ini bukanlah akhir dari perjalanan, melainkan awal dari upaya pelestarian berkelanjutan.

“Saya mendorong pendekatan pelestarian yang berbasis komunitas. Anak-anak muda harus merasa memiliki dan terinspirasi dari tradisi ini,” imbuhnya.

Sementara itu, Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, menyoroti pentingnya menjadikan warisan budaya sebagai aset yang produktif. Ia mengingatkan bahwa budaya tidak boleh menjadi benda mati yang hanya dipajang, tetapi harus bisa urip – hidup dan menghidupi masyarakat.

Sebagai contoh, ia menyebut potensi Kopi Joss untuk dikembangkan secara komersial dan inovatif, bahkan difortifikasi dengan nutrisi tambahan untuk meningkatkan nilai gizinya.

“Kopi Joss tidak harus eksklusif di Malioboro. Bisa direplika di tempat lain dan tetap membawa rasa khas Yogyakarta,” ujarnya.

Hasto juga mengusulkan agar tradisi seperti Cublak-Cublak Suweng diadaptasi menjadi pertunjukan seni kolosal yang bisa dinikmati generasi muda. Menurutnya, kreativitas dan inovasi sangat diperlukan agar WBTB menjadi sumber inspirasi sekaligus penggerak ekonomi lokal.

“Kami bersyukur atas penetapan ini, tapi juga mengkritik diri agar tidak berhenti di seremoni. Harus hidup, produktif, dan berdampak bagi warga,” tutup Hasto.

Dengan ditetapkannya enam WBTB dari Kota Yogyakarta, diharapkan masyarakat dan pemerintah bersinergi menjaga keberlanjutan nilai budaya tersebut. Selain untuk menjaga identitas daerah, pengembangan WBTB juga diharapkan mampu mendongkrak sektor pariwisata dan ekonomi kreatif Yogyakarta secara lebih luas. (*)

Comments

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *